Sabtu, 20 Desember 2014

KESEGARAN JASMANI




Kesegaran jasmani merupakan suatu aspek yang sangat penting dan utama dalam kehidupan setiap umat manusia maupun makhluk hidup lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu yang dalam kesehariannya akan dihadapkan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk mempertahankan kehidupannya sendiri, kehidupan orang lain maupun lingkungannya. Untuk dapat menjalankan semua itu sangatlah membutuhkan kesegaran jasmani yang optimal. Atau dengan kata lain tanpa memiliki tingkat kesegaran jasmani yang baik setiap orang tidak akan mungkin dapat menjalankan pekerjaanya dengan baik walaupun pekerjaan tersebut tergolong pekerjaan ringan dan gampang”.
Suatu contoh, seorang pelajar tidak akan dapat menyimak dan memahami penjelasan gurunya kalau siswa tersebut dalam keadaan loyo atau ngantuk. Seorang petani tidak akan dapat menggarap sawahnya dengan baik jika tidak memiliki kesegaran jasmani  yang baik. Demikian juga dengan komunitas lainnya dengan propesinya masing-masing yang kesemuanya itu tidak akan dapat dijalankan dengan baik tanpa dengan memiliki kesegaran jasmani yang baik.
Sedemikian pentingnya kesegaran jasmani itu dimiliki setiap orang maka sangatlah perlu mencari jawaban dari pertanyaan- pertanyaan ini ; bagaimana memperolehnya?, bagaimana mempertahankannya ?,  dan bagaimana meningkatkannya?.
Walaupun kita semua telah memahami betapa pentingnya kesegaran jasmani itu bagi setiap insan dalam kehidupannya sehari- hari, namun banyak diantara kita yang enggan dan bermalas - malasan untuk mencari tau tentang bagaimana mendapatkan atau memiliki kesegaran jasmani. Dan bahkan banyak orang yang telah tau cara-cara mendapat kesegaran jasmani namun juga enggan dan malas untuk melakukannya.
Fakta membuktikan bahwa, profil tingkat kesegaran jasmani siswa dari tinggkat SD- SLTA tahun 2005 dari hasil penelitian DIKNAS di seluruh Indonesia menyatakan ; bahwa dari seluruh siswa yang diteliti ternyata yang memiliki tingkat kesegaran jasmani yang baik hanya 7 %. Yang lainnya sedang, hingga kurang. Dari fakta tersebut penulis mencoba untuk mencari jawaban dalam mengatasi nya dan sekaligus menjawab ketiga pertanyaan diatas. Bahwa untuk memiliki kesegaran jasmani yang optimal hanya dapat diperoleh dengan mewujudkan keseimbangan tiga faktor terpenting dan utama yaitu; nutrisi, pelatihan, dan istirahat. Ketiga faktor ini akan diuraikan secara lebih rinci pada bab berikutnya .

A.     PENGERTIAN KESEGARAN JASMANI
Pengertian dari kesegaran jasmani ini sangat banyak menurut berbagai tokoh atau ahli dari pendidikan jasmani,yang walaupun ada perbedaan namun secara umum memiliki banyak kesamaan. Adapun beberapa ahli dengan pendapatnya adalah sebagai berikut;
-   Getchell ( 1983 ) mendifinisikan kesegaran jasmani adalah; suatu kemampuan yang menitik beratkan pada fungsi fungsi fisiologis, yaitu kemampuan jantung, pembuluh darah,paru paru dan otot berfungsi pada efisiensi oftimal.
-   Fox dkk ( 1986 ) menyatakan, Kesegaran jasmani adalah; suatu kapasitas fisiologis atau fungsional yang memberikan suatu kwalitas hidup yang meningkat.
-   O Sullivan  ( 1987 ) menyatakan, Kesegaran jasmani adalah; Suatu kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari hari yang normal dengan giat dan penuh dengan kesiap siagaan, tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan energi untuk menikmati kegiatan waktu senggang serta kejadian darurat yang dating tiba tiba .
-   Soemo wardojo dan Giri Widjojo, menyatakan “Kesegaran jasmani adalah; kemampuan tubuh untuk menyesuaikan fungsi alat alat tubuh dalam batas fisiologi terhadap keadaan lingkungan atau kerja fisik secara efisien tanfa lelah berlebihan .
-   Suratman ( 1975 ) menyatakan “kesegaran jasmani adalah “ suatu aspek fisik dari kesegaran menyeluruh  ( total Fitness ) yang memberi kesanggupan kepada seseorang untuk menjalankan hidup yang produktif dan dapat menyesuaikan pada tiap pembebanan atau stess fisik yang layak.juga mendifinisikan” Kesegaran jasmani merupakan kemampuan untuk menunaikan tugas dengan baik dan tanpa rintangan fisik dan psichis
-   Sadoso Sumosarjuno ( 1996 ) menyatakan”Kesegaran jasmani adalah; kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari dengan gampang,tanpa lelah yang berlebihan,dan masih mempunyai sisa/cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan untuk keperluan-keperluan yang mendadak.
 Dan masih banyak lagi pendapat para ahli lain dengan pendapatnya masing masing. Dan berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, pengertian Kesegaran Jasmani adalah kemampuan dalam mewujudkan seluruh komponen kondisi fisik serta pemanfaatannya secara optimal dalam menjalankan aktivitas sehari- hari dengan baik,aman dan nyaman serta dapat meningkatkan kebahagian dan kenikmatan hidup”.

B.     Fungsi Kesegaran Jasmani
Fungsi kesegaran jasmani adalah untuk mengembangkan kemauan dan kemampuan setiap insan dalam upaya mempertinggi daya kerja. Dari hasil seminar Kebugaran Jasmani Nasional pertama di Jakarta tahun 1971 dijelaskan bahwa fungsi Kesegaran Jasmani adalah sebagai berikut:

a.    Fungsi umum
Untuk mengembangkan kekuatan, kemampuan, kesanggupan, daya kreasi dan daya tahan setiap manusia yang berguna untuk mempertinggi daya kerja dalam pembangunan dan pertahanan bangsa dan Negara.
b.   Fungsi khusus
Fungsi khusus dari kesegaran jasmani dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian antara lain:
1.    Kesegaran Jasmani yang berhubungan dengan Pekerjaan
Misalnya kesegaran jasmani bagi Olahragawan untuk meningkatkan prestasi, Kesegaran Jasmani bagi Karyawan untuk meningkatkan produktivitas kerja, dan kebugaran Jasmani beagi Pelajar untuk meningkatkan atau mempertinggi kemampuan belajar.


2.    Kesegaran Jasmani yang berhubungan dengan Keadaan
Misalnya kesegaran jasmani bagi orang cacat untuk Rehabilitasi, dan kesegaran jasmani bagi Ibu Hamil untuk mempersiapkan diri menghadapi kelahiran.
3.    Kesegaran Jasmani yang berhubungan dengan Usia
Mialnya bagi anak-anak untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangannya, dan bagi orang tua kesegaran jasmani untuk menngkatkan daya tahan tubuh.

C.     Komponen- komponen Kesegaran Jasmani
Komponen kesegaran jasmani dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
  1. kesegaran jasmani yang berhubungan dengan Kesehatan ( healt Related Fitnes ) terdiri dari :Daya tahan jantung dan paru-paru ( cardiorespiratory),kekuatan otot, daya tahan otot, fleksibelitas, dan komposisi tubuh.
  2. Kesegaran jasmani yang berhubungan dengan keterampilan ( skill related fitness )  terdiri dari : kecepatan, power,keseimbangan, kelincahan, koordinasi dan kecepatan reaksi ( motohir & gusril,2004:72 )
Soepardi secara spesifik menjelaskan tentang kesegaran jasmanai yang ditinjau dari beberapa aspek antara lain :
  1. kesehatan dari organ-organ tubuh yang erat hubungannya dengan keturunan dan potensi.
  2. Kekuatan fisik dan daya tahan orgn-organ tubuh.
  3. Kesanggupan organ- organ tubuh untuk berbuat dengan menggunakan energi yang minimal.
  4. Kesanggupan seseorang untuk memenuhi kebutuhan terhadap tekanan dengan jiwa yang stabil dan tenteram.
Berdasarkan uraian diatas,dapat disebutkan bahwa komponen-komponen pokok yang berkaitan dengan kesegaran jasmani,yaitu:
a.   kesanggupan dan kemampuan ( kapasitas ) seseorang dalam melakukan tugas sehari-hari.
b.   Meningkatkan daya kerja terutama fungsi jantung, peredaran darah,paru dan otot.
  1. tanpa mengalami kelelahan yang berarti,yakni : adanya pemulihan kemali.
  2. Masih memiliki cadangan energi.
  3. Secara umum membantu peningkatan kwalitas hidup seseorang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesegaran jasmani adalah aspek-aspek kemampuan fisik yamg menunjang kesuksesan seseorang dalam melakukan bebagai aktifitas dalam kehidupannya.. semakin tinggi tingkat kesegaran jasmani seserang, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan semakin besar pula untuk menikmati kehidupan.
Selanjutnya Haity dan Ahady ( 1986 ) mengelompokkan unsur-unsur kesegaran jasmani sebagai berikut :
a.    kekebalan terhadap penyakit .
b.   kekuatan dqn ketahanan otot
c.    ketahanan cardiorespiratory
d.   daya otot ( muscular power )
e.    fleksibelitas
f.    kecepatan
g.   kelincahan
h.   koordinasi
i.    keseimbangan
j.    kecepatan

Dari beberapa pendapat tersebut diatas maka kita dapat melihat pendapat lain  yang membagi komponen kondisi fisik itu menjadi 10 macam antara lain:

MACAM- MACAM KOMPONEN KONDISI FISIK
1.      Kekuatan ( Strength ),adalah “Kemampuan seseorang dalam mempergunakan ototnya untuk menerima /menahan beban suaktu bekerja.
2.      Daya Tahan ( Endurance ),dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :
a.    Daya Tahan umum ( General Endurance ),adalah : Kemampuan seseorang dalam mempergunakan system jantung,paru-paru dan peredaran darahnya secara efisien dan efektip untuk menjalankan aktifitas secara terus menerus dengan melibatkan kontraksi sejumlah otot-otot dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama.
b.    Daya Tahan Otot ( Local Endurance ) adalah” Kemampuan seseorang dalam menggunakan ototnya untuk berkontraksi secara terus menerus dalam waktu yang relative lama dengan beban tertentu.
3.      Daya ledak Otot ( Muscular Power ),Adalah’ Kemampuan seseorang dalam mempergunakan kekuatan maksimum yang dikerahkan dalam waktu yang secepatnya.dengan kata lain Daya otot adalah Kekuatan( Force) x Kecepatan (velocity).
4.      Kecepatan ( speed ),adalah” Kemampuan seseorang dalam melakukan gerakan bekesinambungan dalam bentuk yang sama dalam waktu yang sesingkatnya.
5.      Kelenturan ( Flexibelity ) Adalah” kemampuan seseorang dalam penyesuaian diri untuk segala aktifitas dengan penguluran tubuh yang luas yang ditandai dengan tingkat kelenturan persendian pada seluruh tubuh.
6.      Kelincahan ( Agility ),adalah” Kemampuan seseorang dalam mengubah posisi diarea tertentu dengan posisi yang berbeda dalam kecepatan yang tinggi dengan koordinasi yang baik.
7.      Koordinasi ( Coordination ), Adalah ”kemampuan seseorang dalam mengintegrasikan berbagai gerakan yang berbeda kedalam pola gerakan tunggal secara efektip
8.      Keseimbangan ( Balance ), adalah” kemampuan seseorang dalam mengendalikan organ-organ syaraf otot.
9.      Ketepatan ( Accuracy ),adalah” kemampuan seseorang dalam mengendalikan gerak-grak bebas terhadap suatu sasaran yang merupakan suatu obyek.
10.  Reaksi (Reactiion ), adalah ”kemampuan seseorang untuk bertindak cepat dalam menanggapi rangsangan yang ditimbulkan lewat indera, syaraf, atau feeling lainnya.

Tes dan Pengukuran Olahraga



Tes dan pengukuran merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam berbagai kegiatan manusia, demikian pula halnya dalam kegiatan pengajaran dan pelatihan olahraga. Karena dengan melaksanakan kedua hal tersebut kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan seorang atlet, sehingga akhirnya dapat membuat suatu keputusan yang tepat. Pengajaran dan pelatihan olahraga merupakan sebuah proses yang dinamis, pengajar/pelatih dan pembina menghadapi berbagai permasalahan yang membutuhkan pemecahan. Semakin teliti informasi yang diperoleh (melalui tes dan pengukuran) akan semakin baik keputusan yang diambil.

Menurut Johnson dan Nelson (1969:1) “Tes adalah suatu bentuk dari suatu pertanyaan dan atau pengukuran, yang digunakan untuk memperkirakan ingatan dari sutau pengetahuan dan kemampuan, atau untuk mengukur kemampuan gerak di dalam aktifitas jasmani.” Kirkendal (1987) menyatakan bahwa, “tes adalah instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang individu atau objek.”
Secara khusus tes yang digunakan adalah tes prestasi. Winarno (2007:61) menyatakan “tes prestasi adalah tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian prestasi seseorang setelah mempelajari sesuatu.” Dalam hal ini tes prestasi yang dimaksudkan tes kemampuan fisik sehingga instrumen ini masuk kategori achievement test.


1.        Petunjuk Pelaksanaan Tes
a.      Kriteria Bagi Atlet yang akan di Tes
1.      Harus sehat fisik dan mental berdasarkan pemeriksaan dokter.
2.      Satu hari sebelum pelaksanaan tes, atlet yang bersangkutan cukup istirahat dan cukup tidur.
3.      Makan terakhir 2 jam sebelum tes mulai dilaksanakan.
4.      Atlet diharuskan berpakaian dan bersepatu olahraga pada saat menjalani tes.
5.      Sebelum memulai aktivitas tes, atlet melakukan pemanasan selama kurang-lebih 15 menit.
6.      Atlet diharuskan untuk menjalankan tes dengan sungguh-sungguh.

b.      Kriteria Bagi Pelaksana Tes
1.      Mengetahui jenis-jenis alat ukur yang akan digunakan.
2.      Memahami prosedur pelaksanaan pengukuran.
3.  Dapat mengoperasikan dengan benar berbagai peralatan yang akan digunakan dalam pengukuran.

c.          Kriteria Sarana dan Prasarana Pelaksanaan Tes
1.      Alat tes yang digunakan telah ditera atau memenuhi standar.
2.      Tempat pelaksanaan tes harus aman dan nyaman bagi atlet.
3.      Tersedia peralatan medis untuk kepentingan P3K.
4.      Tersedia formulir-formulir yang dibutuhkan untuk merekam hasil tes.
5.      Bila tes terjadwal secara rutin berkala, pelaksanaan hendaknya dilakukan di tempat dan waktu yang sama.



       Sugiyanto (1993:66), menyatakan bahwa “kriteria pengukuran dikatakan baik apabila memenuhi kriteria: instrumen pengukuran harus valid, reliabel, mudah diadministrasikan dan ada norma penilaiannya”.
a.       Kekuatan otot tungkai, leg dynamometer
Untuk mengetahui kekuatan otot tungkai dengan menggunakan tes leg dynamometer. Tujuan tes adalah untuk mengukur kekuatan kelompok extensor tungkai. Pelaksanaan tes : berdiri diatas tumpuan leg dynamometer, kedua lengan memegang bagian lengan tongkat, pegangan setinggi bagian kemaluan, sabuk pengaman dililitkan antara pinggang dengan kedua ujung tongkat pegangan. Gerakannya : tarik tungkai dengan kedua tangan bersamaan dengan meluruskan kedua lutut, pada akhir gerakan kedua lutut hampir lurus sepenuhnya.  Penilaian yaitu hasil yang dapat dicatat dari nilai tertinggi yang diperoleh selama melakukan tes sebanyak 2-3 kali. Hasil masing-masing testee dapat dibaca pada petunjuk yang berada di atas bantalan leg dynamometer.
b.      Kekuatan otot lengan. Pull and push dynamometer.
Tujuan: Untuk mengukur kekuatan otot tangan dalam menarik dan mendorong. Alat: pull and push dynamometer. Petugas: (1) pemandu tes dan (2) pencatat skor. Pelaksanaan: Testee berdiri tegak dengan kaki direnggangkan dan pandangan lurus ke depan. Tangan memegang pull & push dynamometer dengan kedua tangan di depan dada. Posisi lengan dan tangan lurus dengan bahu. Tarik alat tersebut sekuat tenaga. Pada saat menarik atau mendorong, alat tidak boleh menempel pada dada, tangan dan siku tetap sejajar dengan bahu. Tes ini dilakukan sebanyak dua kali. Penilaian: Skor kekuatan tarik atau kekuatan dorong terbaik dari dua kali percobaan dicatat sebagai skor dalam satuan kg. dengan tingkat ketelitian 0,5 kg.
c.       Daya tahan otot perut. AAHPERD Modifield Sit-ups (AAHPERD 1980)
Untuk memperoleh data daya tahan otot perut dilakukan dengan menggunakan instrumen tes sit-up, Nelson (1986:132). Testee harus menempelkan kedua lengan di depan dada dan melakukan sit-up dengan cara menyentuhkan siku kiri ke lutut kanan, dan siku kanan ke lutut kiri. Gerakan tersebut dilakukan sebanyak mungkin.
d.      Daya tahan otot lengan. Modifield Push-up
Untuk memperoleh data kekuatan otot perut dilakukan tes dengan menggunakan instrument push-up, Nelson (1986:139). Posisi awal: testee mengambil posisi tidur menelungkup dan menempatkan telapak tangan di lantai di bawah dada testee. Kedua tangan testee terletak di lantai di bawah kedua bahunya, siku dipertahankan atau dikunci dalam keadaan lengan diluruskan. Seluruh tubuh lurus, tidak ada bagian tubuh yang menyentuh lantai kecuali kedua tangan dan tumitnya. Kedua kaki diregangkan sejauh 30 cm. Pelaksanaan: Testee membengkokkan lengannya, badan diturunkan sampai dadanya dapat menyentuh tangan penghitung dan dorong kembali ke posisi awal. Tubuh harus tetap dipertahankan dengan lurus sepanjang melakukan gerakan. Testee melakukan kegiatan sebanyak mungkin tanpa harus berhenti.
e.       Daya tahan otot tungkai. Half squat jump test
Untuk mengetahui daya tahan otot tungkai dapat diketahui dengan tes squat jump, Nelson (1986:137), pelaksanaan: orang coba berada pada sikap jongkok dengan salah satu tumit kaki yang lainya berada di depan, sedangkan kedua tangan saling berkait diletakkan dibelakang kepala, pandangan ke depan. Orang coba lemompat ke atas sehingga tungkai lurus, lalu mendarat dengan berganti kaki ke depan dan ke belakang,dengan posisi setengah jongkok (half squat). Gerakan ini dilakukan berulang-ulang dengan sikap kaki bergantian sampai orang coba tak dapat melompat lagi secara sempurna seperti ketentuan tersebut di atas.
f.       Power otot tungkai. Vertical Jump
Johnson dan Nelson (1986:219), untuk mengetahui power otot tungkai masing-masing testee yaitu dengan tes Vertical Jump. Tujuan tes adalah untuk mengukur power kaki melompat ke atas. Tingkatan usia untuk tes ini adalah individu yang berusia 6 tahun sampai usia perguruan tinggi. Tes ini baik dilakukan untuk laki-laki dan perempuan.
g.      Power otot lengan. Two Hand Medicine Ball Put
Untuk memperoleh data power otot lengan dengan cara atlet melakukan lempar bola medicine, yang dalam hal ini diganti dengan menggunakan bola basket. Caranya dengan menghitung jarak antara jatuhnya bola dengan tempat duduk atlet pada waktu melempar, dengan satuan meter. Setiap atlet melakukan dua kali kesempatan melempar bola, dan diambil yang terjauh dari hasil lemparanya. Nelson (1986:214).
 Foto : Hendra (kiri) dan Evan Dimas (kanan)

Sabtu, 13 Desember 2014

MODEL PEMBELAJARAN DALAM KURIKULUM 2013



PROJECT BASED LEARNING
(Pembelajaran Berbasis Proyek)

A.  KONSEP/DEFINISI

Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.         Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja;
2.         Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik;
3.    Peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan;
4.    Peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan;
5.         Proses evaluasi dijalankan secara kontinyu;
6.         Peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan;
7.         Produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan
8.         situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.
Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini.
1.    Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek.
2.    Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru.
3.    Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
4.    Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.

B.       FAKTA EMPIRIK KEBERHASILAN

Kelebihan dan kekurangan pada penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Keuntungan Pembelajaran Berbasis Proyek
a.    Meningkatkan motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
b.    Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
c.    Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
d.   Meningkatkan kolaborasi.
e.    Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.
f.       Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber.
g.    Memberikan pengalaman kepada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
h.    Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
i.        Melibatkan para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.
j.        Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.
2.      Kelemahan Pembelajaran Berbasis Proyek
a.    Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
b.    Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
c.    Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas.
d.   Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
e.    Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.
f.       Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok.
g.    Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan
Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran Berbasis Proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran Berbasis Proyek membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok orang, termasuk orang dewasa.
Pelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan melupakannya secepat mereka telah lulus tes.

LANGKAH-LANGKAH OPERASIONAL
Penjelasan Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.
1.        Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para peserta didik.
2.        Mendesain Perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project.
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan  emikian peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta  mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.
3.      Menyusun Jadwal (Create a Schedule)
Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat deadline penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.
4.      Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the Project)
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap roses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang  penting.
5.        Menguji Hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6.        Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
Peran guru dan peserta didik dalam pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.
1.        Peran Guru
a.         Merencanakan dan mendesain pembelajaran.
b.         Membuat strategi pembelajaran.
c.         Membayangkan interaksi yang akan terjadi antara guru dan siswa.
d.        Mencari keunikan siswa.
e.         Menilai siswa dengan cara transparan dan berbagai macam penilaian.
f.          Membuat portofolio pekerjaan siswa.
2.        Peran Peserta Didik
a.         Menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir.
b.         Melakukan riset sederhana.
c.         Mempelajari ide dan konsep baru.
d.        Belajar mengatur waktu dengan baik.
e.         Melakukan kegiatan belajar sendiri/kelompok.
f.          Mengaplikasikanhasil belajar lewat tindakan.
g.         Melakukan interaksi sosial (wawancara, survey, observasi, dll).

A.      SISTEM PENILAIAN
Penilaian pembelajaran dengan metoda Pembelajaran Berbasis Proyek harus diakukan secara menyeluruh terhadap sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dalam melaksanakan pembelajaran berbasis proyek. Penilaian Pembelajaran Berbasis Proyek dapat menggunakan teknik penilaian yang dikembangkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu penilaian proyek atau penilaian produk. Penilaian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1.      Penilaian Proyek

a.        Pengertian
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas.
Pada penilaian proyek setidaknya ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:
1)        Kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan laporan.
2)        Relevansi
Kesesuaian dengan mata pelajaran, dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam pembelajaran.
3)        Keaslian
Proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta didik.
b.        Teknik Penilaian Proyek
Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil penelitian juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/ instrumen penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian.




Contoh Teknik Penilaian Proyek

Mata Pelajaran      :          
Nama Proyek        :          
Alokasi Waktu      :          
Guru Pembimbing :          

Nama                     :          
NIS                       :          
Kelas                     :          

No.
ASPEK
SKOR (1 - 5)
1
PERENCANAAN :
a.      Persiapan
b.      Rumusan Judul

2
PELAKSANAAN :
a.      Sistematika Penulisan
b.      Keakuratan Sumber Data / Informasi
c.      Kuantitas Sumber Data
d.     Analisis Data
e.      Penarikan Kesimpulan

3
LAPORAN PROYEK :
a.      Performans
b.      Presentasi / Penguasaan


TOTAL SKOR



Penilaian Proyek dilakukan mulai dari perencanaan , proses pengerjaan sampai dengan akhir proyek. Untuk itu perlu memperhatikan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai. Pelaksanaan penilaian dapat juga menggunakan rating scale dan checklist.

2.      Penilaian Produk

a.        Pengertian
Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, dan logam. Pengembangan produk meliputi 3 (tiga) tahap dan setiap tahap perlu diadakan penilaian yaitu:
1)        Tahap persiapan, meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan, menggali, dan mengembangkan gagasan, dan mendesain produk.
2)        Tahap pembuatan produk (proses), meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dalam menyeleksi dan menggunakan bahan, alat, dan teknik.
3)        Tahap penilaian produk (appraisal), meliputi: penilaian produk yang dihasilkan peserta didik sesuai kriteria yang ditetapkan.
b.   Teknik Penilaian Produk
Penilaian produk biasanya menggunakan cara holistik atau analitik.
1)         Cara holistik, yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap appraisal.
2)         Cara analitik, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.


Contoh Penilaian Produk
Mata Ajar  :          
Nama Proyek         :          
Alokasi Waktu      :          
Nama Peserta didik           :          
Kelas/SMT            :          

No.
Tahapan
Skor ( 1 – 5 )*
1
Tahap Perencanaan Bahan

2
Tahap Proses Pembuatan
a.      Persiapan Alat dan Bahan
b.      Teknik Pengolahan
c.      K3 (Keselamatan kerja, Keamanan dan Kebersihan)

3
Tahap Akhir (Hasil Produk)
a.      Bentuk Fisik
b.      Inovasi

TOTAL SKOR


Catatan :
*) Skor diberikan dengan rentang skor 1 sampai dengan 5, dengan ketentuan semakin lengkap jawaban dan ketepatan dalam proses pembuatan maka semakin tinggi nilainya.








MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
(PROBLEM BASED LEARNING)




 
Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
A.    Konsep/Definisi
Definisi
1)      Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world).
2)      Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan.
Model pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembelajaran.
Berikut ini lima strategi dalam menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL).
1)      Permasalahan sebagai kajian.
2)      Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman.
3)      Permasalahan sebagai contoh.
4)      Permasalahan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses.
5)      Permasalahan sebagai stimulus aktivitas autentik.
Peran guru, peserta didik dan masalah dalam pembelajaran berbasis masalah dapat digambarkan berikut ini.
Guru sebagai Pelatih
Peserta Didik sebagai Problem Solver
Masalah sebagai Awal Tantangan dan Motivasi
o  Asking about thinking (bertanya tentang pemikiran).
o  Memonitor pembelajaran.
o  Probbing ( menantang peserta didik untuk berpikir ).
o  Menjaga agar peserta didik terlibat.
o  Mengatur dinamika kelompok.
o  Menjaga berlangsungnya proses.
o  Peserta yang aktif.
o  Terlibat langsung dalam pembelajaran.
o  Membangun pembelajaran.
o  Menarik untuk dipecahkan.
o  Menyediakan kebutuhan yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dipelajari.

Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini adalah:
1)      Keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah
Pembelajaran berbasis masalah ini ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
2)        Pemodelan peranan orang dewasa.
Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Berikut ini aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan.
·         PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.
·         PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga peserta didik secara bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
·         PBL melibatkan peserta didik dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
3)      Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah bimbingan guru.
Pendekatan PBL mengacu pada hal-hal sebagai berikut ini.
a.       Kurikulum : PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional, karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat.
b.      Responsibility : PBL menekankan responsibility dan answerability para peserta didik ke diri dan panutannya.
c.       Realisme : kegiatan peserta didik difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
d.      Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan peserta didik untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri.
e.       Umpan Balik : diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap para peserta didik menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
f.       Keterampilan Umum : PBL dikembangkan tidak hanya pada ketrampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management.
g.      Driving Questions : PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu peserta didik untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
h.      Constructive Investigations : sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para peserta didik.
i.        Autonomy : proyek menjadikan aktifitas peserta didik sangat penting.

B.     Fakta Empirik Keberhasilan Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran
Kelebihan Menggunakan PBL
(1)          Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.
(2)          Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
(3)         PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Metode ini memiliki kecocokan terhadap konsep inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut :
1.      peserta didik memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk memecahkan masalah bidang keteknikan yang dijumpainya;
2.      peserta didik belajar secara aktif dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering disebut student-centered;
3.      peserta didik mampu berpikir kritis, dan mengembangkan inisiatif.
Berikut adalah beberapa hasil penelitian berkaitan dengan model PBL.
1.        Wagiran, dkk, 2010, Pengembangan Pembelajaran Model Problem Based Learning Dengan Media Pembelajaran Berbantuan Komputer dalam Matadiklat Measuring Bagi Peserta didik SMK (Hibah Bersaing Perguruan Tinggi), 2010: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Penelitian dirancang dalam tiga tahap dalam kurun waktu 3 tahun. Pada tahun pertama penelitian bertujuan untuk merancang, membuat dan mengembangkan media pembelajaran berbantuan komputer berikut perangkatnya dalam mendukung model pembelajaran PBL-PBK.  Pada tahun kedua, penelitian ini bertujuan untuk menerapkan dan menguji model pembelajaran PBL-PBK dalam lingkup luas sekaligus melihat efektivitasnya. Pada tahun ketiga, penelitian ini memfokuskan pada tahap sosialisasi model pembelajaran PBL-PBK dalam lingkup yang lebih luas.
Penelitian dirancang  menggunakan pendekatan Research and Development  Sumber data dalam penelitian ini meliputi kalangan industri permesinan, perumus kebijakan, kepala sekolah, guru, peserta didik, dan ahli pendidikan. Penerapan model direncanakan di 5 SMK dengan metode eksperimen. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif yaitu  deskriptif, dan komparatif.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah diperolehnya kompetensi Measuring dan diperolehnya media pembelajaran berbantuan komputer dalam mendukung pembelajaran PBL-PBK yang teruji. Hasil evaluasi ahli tentang kualitas media dilihat dari sisi materi menunjukkan skor 3,38 (dalam kategori baik), dari kualitas tampilan menunjukkan skor 3,04 (dalam kategori baik), sedangkan dari sisi pengorganisasian materi penunjukan skornya adalah: konsistensi sebesar 2,92 (cukup baik), format sebesar 3,13 (baik), pengorganisasian sebesar 3,25 (baik), bentuk dan ukuran huruf sebesar 2,63 (cukup baik).
Hasil  uji kelayakan (uji coba) kepada peserta didik menunjukkan bahwa kualitas media dilihat dari sisi materi menunjukkan skor 3,28 (dalam kategori baik), dari kualitas tampilan dan daya tarik  menunjukkan skor 3,30 (dalam kategori baik), sedangkan dari sisi pengorganisasian materi penunjukan skornya adalah: sebesar 3,22 (baik) Dengan demikian media berbantuan komputer dalam matadiklat measuring layak untuk diterapkan.
Media berbantuan komputer yang disusun telah memnuhi aspek kelayakan baik dari segi teoritis maupun dari segi empiris. Tedapat tiga pola implementasi pembelajaran menggunakan media berbantuan komputer yaitu: (a) sebagai media tayamg, (b) sebagai media pendukung praktek, dan (c) sebagai media pembelajaran individual dan interaktif.

2.      Dian Mala Sari, Pebriyenni ., Yulfia Nora, 2013, Peningkatan Partisipasi dan Hasil Belajar Peserta didik Kelas IVB dalam Pembelajaran IPS Melalui Model Problem Based Learning di SDN 20 Kurao Pagang, Faculty of Education, Bung Hatta University
Penelitian ini dilatarbelakangi kurangnya partisipasi peserta didik kelas IVB pada pembelajaran IPS. Yang berdampak terhadap rendahnya hasil belajar peserta didik. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan peningkatan partisipasi dan hasil belajar peserta didik kelas IVB dalam pembelajaran IPS melalui model PBL di SDN 20 Kurao Pagang. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan secara partisipan.
Subjek penelitian ini peserta didik kelas IVB SDN 20 Kurao Pagang. Instrumen penelitian yang digunakan lembar observasi partisipasi peserta didik, lembar observasi aktivitas guru, tes hasil belajar dan catatan lapangan. Hasil penelitian diketahui bahwa partisipasi dalam menjawab pertanyaan meningkat dari 52,5 % di siklus I menjadi 70%, di siklus II. Partisipasi peserta didik menanggapi jawaban meningkat dari  40% di siklus I menjadi 65% di siklus II, dan partisipasi peserta didik dalam presentasi meningkat dari 27,5% di siklus I menjadi 67,5% di siklus II. Hasil belajar peserta didik siklus I meningkat dari 57,25% menjadi 72,75% di siklus II. Sedangkan persentase ketuntasan belajar yang ditentukan 70%. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa partisipasi dan hasil belajar peserta didik kelas IVB dapat ditingkatkan melalui model PBL dalam pembelajaran IPS di SDN 20 Kurao Pagang.

C.    Langkah-langkah Operasional Imlementasi dalam Proses Pembelajaran
Pembelajaran suatu materi pelajaran dengan menggunakan PBL sebagai basis model dilaksanakan dengan cara mengikuti lima langkah PBL dengan bobot atau kedalaman setiap langkahnya disesuaikan dengan mata pelajaran yang bersangkutan.
1.        Konsep Dasar (Basic Concept)
Jika dipandang perlu, fasilitator dapat memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran. Lebih jauh, hal ini diperlukan untuk memastikan peserta didik memperoleh kunci utama materi pembelajaran, sehingga tidak ada kemungkinan terlewatkan oleh peserta didik seperti yang dapat terjadi jika peserta didik mempelajari secara mandiri. Konsep yang diberikan tidak perlu detail, diutamakan dalam bentuk garis besar saja, sehingga peserta didik dapat mengembangkannya secara mandiri secara mendalam.
2.        Pendefinisian Masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan dalam kelompoknya, peserta didik melakukan berbagai kegiatan. Pertama, brainstorming yang dilaksanakan dengan cara semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif pendapat. Setiap anggota kelompok memiliki hak yang sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta mendokumentasikan secara tertulis pendapat masing-masing dalam kertas kerja.
Selain itu, setiap kelompok harus mencari istilah yang kurang dikenal dalam skenario tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada peserta didik yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman yang lain. Jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis dalam permasalahan kelompok. Selanjutnya, jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis sebagai isu dalam permasalahan kelompok.
Kedua, melakukan seleksi alternatif untuk memilih pendapat yang lebih fokus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam kelompok untuk mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Fasilitator memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil peserta didik. Jika tujuan yang diinginkan oleh fasilitator belum disinggung oleh peserta didik, fasilitator mengusulkannya dengan memberikan alasannya. Pada akhir langkah peserta didik diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk menjembataninya. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini, maka pendefinisian masalah dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
3.        Pembelajaran Mandiri (Self Learning)
Setelah mengetahui tugasnya, masing-masing peserta didik mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan, halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap investigasi memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi dan mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
Di luar pertemuan dengan fasilitator, peserta didik bebas untuk mengadakan pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut peserta didik akan saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan yang telah mereka bangun. Peserta didik juga harus mengorganisasi informasi yang didiskusikan, sehingga anggota kelompok lain dapat memahami relevansi terhadap permasalahan yang dihadapi.
4.        Pertukaran Pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
Tiap kelompok menentukan ketua diskusi dan tiap peserta didik menyampaikan hasil pembelajaran mandiri dengan cara mengintegrasikan hasil pembelajaran mandiri untuk mendapatkan kesimpulan kelompok. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan dokumentasi akhir. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah ini maka dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
5.        Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan. Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.
D.    Contoh Penerapan
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, peserta didik terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian peserta didik diminta mencatat masalah-masalah yang muncul. Setelah itu tugas guru adalah meransang peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan peserta didik untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan pendapat yang berbeda dari mereka.
Memanfaatkan lingkungan peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan peserta didik, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar diluar kelas. Peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan peserta didik dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.
Tabel 1: Tahapan-Tahapan Model PBL
FASE-FASE
PERILAKU GURU
Fase 1
Orientasi peserta didik kepada masalah.
·      Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yg dibutuhkan.
·      Memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Fase 2
Mengorganisasikan peserta didik.
Membantu peserta didik mendefinisikan danmengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Fase 3
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok.
Mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman.
Fase 5
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari /meminta kelompok presentasi hasil kerja.

Fase 1: Mengorientasikan Peserta Didik pada Masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh peserta didik dan juga oleh guru. serta dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar peserta didik dapat mengerti dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam proses ini, yaitu sebagai berikut.
1.      Tujuan utama pengajaran tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri.
2.      Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan.
3.      Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), peserta didik didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun peserta didik harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya.
4.      Selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman sekelas. Semua peserta didik diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan Peserta Didik untuk Belajar
Di samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran
 PBL juga mendorong peserta didik belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok peserta didik dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan peserta didik menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua peserta didik aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.
Guru membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada peserta didik untuk berifikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta didik untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.

Fase 4: Mengembangkan dan Menyajikan Artifak (Hasil Karya) dan Mempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan peserta didik-peserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya.

E.     Sistem Penilaian
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.
Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.
Penilaian pembelajaran dengan PBL dilakukan dengan authentic assesment. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolio yang merupakan kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan peserta didik yang dianalisis untuk melihat kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan pembelajaran. Penilaian dalam pendekatan PBL dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment) dan peer-assessment.
1.        Self-assessment. Penilaian yang dilakukan oleh pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri dalam belajar.
2.        Peer-assessment. Penilaian di mana pebelajar berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam kelompoknya.
Penilaian yang relevan dalam PBL  antara lain berikut ini.
1.        Penilaian kinerja peserta didik.
Pada penilaian kinerja ini, peserta didik diminta untuk unjuk kerja atau mendemonstrasikan kemampuan melakukan tugas-tugas tertentu, seperti menulis karangan, melakukan suatu eksperimen, menginterpretasikan jawaban pada suatu masalah, memainkan suatu lagu, atau melukis suatu gambar.
2.        Penilaian portofolio peserta didik.
Penilaian portofolio adalah penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam suatu periode tertentu. Informasi perkembangan peserta didik dapat berupa hasil karya terbaik peserta didik selama proses belajar, pekerjaan hasil tes, piagam penghargaan, atau bentuk informasi lain yang terkait kompetensi tertentu dalam suatu mata pelajaran.
Dari informasi perkembangan itu peserta didik dan guru dapat menilai kemajuan belajar yang dicapai dan peserta didik terus berusaha memperbaiki diri. Penilain dengan portofolio dapat dipakai untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Penilaian kolaboratif dalam PBL dilakukan dengan cara evaluasi diri (self assesment) dan peer assesment.
Self assessment adalah penilaian yang dilakukan oleh peserta didik itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai oleh peserta didik itu sendiri dalam belajar. Peer assessment adalah penilian dimana peserta didik berdiskusi untuk memberikan penilaian upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang diselesaikan sendiri maupun teman dalam kelompoknya.
3.        Penilaian Potensi Belajar
Penilaian yang diarahkan untuk mengukur potensi belajar peserta didik yaitu mengukur kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan bantuan guru atau teman-temannya yang lebih maju. PBL yang memberi tugas-tugas pemecahan masalah memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan dan mengenali potensi kesiapan belajarnya.
4.        Penilaian Usaha Kelompok
Menilai usaha kelompok seperti yang dlakukan pada pembelajaran kooperatif dapat dilakukan pada PBL. Penilaian usaha kelompok mengurangi kompetisi merugikan yang sering terjadi, misalnya membandingkan peserta didik dengan temannya. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh peserta didik sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil pekerjaan secara bersama-sama.
Penilaian proses dapat digunakan untuk menilai pekerjaan peserta didik tersebut, penilaian ini antara lain: 1).assesment kerja, 2). assesment autentik dan 3). portofolio. Penilaian proses bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana peserta didik merencanakan pemecahan masalah, melihat bagaimana peserta didik menunjukkan pengetahuan dan keterampilannya.
Penilaian kinerja memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang sebenarnya. Sebagian masalah dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks atau lingkungannya, maka di samping pengembangan kurikulum juga perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai tujuan kurikulum yang memungkinkan peserta didik dapat secara aktif mengembangkan kerangka berpikir dalam memecahkan masalah serta kemampuannya untuk bagaimana belajar (learning how to learn).
Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut diharapkan peserta didik akan mudah beradaptasi. Dasar pemikiran pengembangan strategi pembelajaran tersebut sesuai dengan pandangan kontruktivis yang menekankan kebutuhan peserta didik untuk menyelidiki lingkungannya dan membangun pengetahuan secara pribadi pengetahuan bermakna.
Tahap evaluasi pada PBM terdiri atas tiga hal : 1. bagaimana peserta didik dan evaluator menilai produk (hasil akhir) proses 2. bagaimana mereka menerapkan tahapan PBM untuk bekerja melalui masalah 3. bagaimana peserta didik akan menyampaikan pengetahuan hasil pemecahan akan masalah atau sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka belajar menyampaikan hasil-hasil penilaian atau respon-respon mereka dalam berbagai bentuk yang beragam, misalnya secara lisan atau verbal, laporan tertulis, atau sebagai suatu bentuk penyajian formal lainnya. Sebagian dari evaluasi memfokuskan pada pemecahan masalah oleh peserta didik maupun dengan cara melakukan proses belajar kolaborasi (bekerja bersama pihak lain).








MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN
(DISCOVERY LEARNING)

A.  Definisi/ Konsep
1.    Definisi
Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah. Akan tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri.
2.        Konsep
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang  lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar  diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
B.  Fakta Empirik Keberhasilan Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebhihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahan.
1.  Kelebihan Penerapan  Discovery Learning
a.    Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b.    Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c.    Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
d.   Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e.    Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f.     Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g.    Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h.    Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada  kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i.      Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j.      Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar  yang baru.
k.    Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l.      Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
m.  Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
n.    Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia  seutuhnya.
p.   Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q.   Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
r.   Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

2. Kelemahan Penerapan Discovery Learning
a.         Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b.      Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
c.       Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
d.      Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e.       Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f.       Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
a.       Menentukan tujuan pembelajaran.
b.      Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya  belajar, dan sebagainya).
c.       Memilih materi pelajaran.
d.      Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
e.       Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
f.       Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g.      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

1.        Prosedur Aplikasi Metode Discovery Learning
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

b.  Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut  permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c.  Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya  hipotesis. Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
d.  Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).

Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
e.   Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
f.     Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka  dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan  siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran  atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.



DAFTAR PUSTAKA

Admin. Metode Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) [online]. Diakses di http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/151/hubptain-gdl-ellyikasus-7509-3-babii.pdf  (29 November 2014).

Nur, Mohamad. 2011. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan2013





Aktivitas Olahraga Senam, Akuatik, Beladiri dan Pendidikan Kesehatan

TUGAS AKHIR M6 : Aktivitas Olahraga Senam, Akuatik, Beladiri dan Pendidikan Kesehatan Tugas 1 Senam 1.       Buatlah uraian 3 gerakan ...