PROJECT
BASED LEARNING
(Pembelajaran
Berbasis Proyek)
A. KONSEP/DEFINISI
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah
metoda pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta
didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi
untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode
belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas
secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada
permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi
dan memahaminya.
Melalui PjBL,
proses inquiry dimulai dengan
memunculkan pertanyaan penuntun (a
guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek
kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama
sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam
tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
peserta didik.
Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki
gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan
kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi) dengan
menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan eksperimen
secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam
tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
peserta didik.
Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan
sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang
dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang
berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus
dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan
untuk bekerja dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi”
peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang
sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran
yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1.
Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja;
2.
Adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik;
3.
Peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan
atau tantangan yang diajukan;
4.
Peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan
mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan;
5.
Proses evaluasi dijalankan secara kontinyu;
6.
Peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah
dijalankan;
7.
Produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan
8.
situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara
untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan
inovasi dari siswa.
Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini.
1.
Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan
banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
komplek.
2.
Banyak
orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk
memasuki system baru.
3.
Banyak
instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang
peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi
instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
4.
Banyaknya
peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik
lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan
pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah
suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman,
artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.
B. FAKTA EMPIRIK KEBERHASILAN
Kelebihan dan kekurangan pada
penerapan Pembelajaran
Berbasis Proyek dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Keuntungan Pembelajaran Berbasis
Proyek
a. Meningkatkan
motivasi belajar peserta didik untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk
melakukan pekerjaan penting, dan mereka perlu untuk dihargai.
b. Meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah.
c. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan
problem-problem yang kompleks.
d. Meningkatkan
kolaborasi.
e. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan
komunikasi.
f. Meningkatkan
keterampilan peserta didik dalam mengelola
sumber.
g. Memberikan pengalaman kepada peserta
didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi
waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
h. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks
dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.
i. Melibatkan
para peserta didik untuk belajar mengambil informasi dan menunjukkan
pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata.
j. Membuat
suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik
menikmati proses pembelajaran.
2. Kelemahan Pembelajaran Berbasis Proyek
a. Memerlukan
banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
b. Membutuhkan
biaya yang cukup banyak.
c. Banyak
instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur
memegang peran utama di kelas.
d. Banyaknya
peralatan yang harus disediakan.
e. Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan
dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.
f. Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif
dalam kerja kelompok.
g. Ketika topik
yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan
Untuk mengatasi kelemahan dari
pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik harus dapat mengatasi
dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi
waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan
peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi
penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan
biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur
dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran Berbasis Proyek ini
juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti kolaborasi dan
refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran Berbasis Proyek membantu siswa
untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi
berkurang dan lebih sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih
percaya diri berbicara dengan kelompok orang, termasuk orang dewasa.
Pelajaran berbasis proyek juga
meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak bersemangat dan
antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering mendapatkan lebih
banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata
pelajaran lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk mempertahankan apa
yang mereka pelajari, bukan melupakannya secepat mereka telah lulus tes.
LANGKAH-LANGKAH
OPERASIONAL
Penjelasan Langkah-langkah Pembelajaran
Berbasis Proyek sebagai berikut.
1.
Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With
the Essential Question).
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan
esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam
melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia
nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik
yang diangkat relevan untuk para peserta didik.
2.
Mendesain Perencanaan Proyek
(Design a Plan for the Project.
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif
antara pengajar dan peserta didik. Dengan
emikian peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek
tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang
dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara
mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses
untuk membantu penyelesaian proyek.
3.
Menyusun Jadwal (Create a
Schedule)
Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif
menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini
antara lain: (1) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat
deadline penyelesaian proyek, (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara
yang baru, (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak
berhubungan dengan proyek, dan (5) meminta peserta didik untuk membuat
penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.
4.
Memonitor
peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the
Project)
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan
monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek.
Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi peserta didik pada setiap roses.
Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik.
Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam
keseluruhan aktivitas yang penting.
5.
Menguji Hasil (Assess the Outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar
dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan
masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman
yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi
pembelajaran berikutnya.
6.
Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate
the Experience)
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan
peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah
dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan
pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik
mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses
pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan
yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
Peran guru dan peserta didik dalam
pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.
1.
Peran Guru
a.
Merencanakan dan mendesain
pembelajaran.
b.
Membuat strategi pembelajaran.
c.
Membayangkan interaksi yang akan
terjadi antara guru dan siswa.
d.
Mencari keunikan siswa.
e.
Menilai siswa dengan cara transparan
dan berbagai macam penilaian.
f.
Membuat portofolio pekerjaan siswa.
2.
Peran Peserta Didik
a.
Menggunakan kemampuan bertanya dan
berpikir.
b.
Melakukan riset sederhana.
c.
Mempelajari ide dan konsep baru.
d.
Belajar mengatur waktu dengan baik.
e.
Melakukan kegiatan belajar
sendiri/kelompok.
f.
Mengaplikasikanhasil belajar lewat
tindakan.
g.
Melakukan interaksi sosial
(wawancara, survey, observasi, dll).
A. SISTEM PENILAIAN
Penilaian pembelajaran dengan metoda
Pembelajaran Berbasis Proyek harus diakukan secara menyeluruh terhadap sikap,
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dalam melaksanakan
pembelajaran berbasis proyek. Penilaian Pembelajaran Berbasis Proyek dapat
menggunakan teknik penilaian yang dikembangkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu penilaian proyek atau penilaian
produk. Penilaian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Penilaian Proyek
a.
Pengertian
Penilaian proyek
merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam
periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari
perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data.
Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan
mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan peserta
didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas.
Pada penilaian proyek setidaknya ada 3 hal yang perlu
dipertimbangkan yaitu:
1)
Kemampuan pengelolaan
Kemampuan peserta didik dalam memilih
topik, mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan
laporan.
2)
Relevansi
Kesesuaian dengan mata pelajaran,
dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam
pembelajaran.
3)
Keaslian
Proyek yang dilakukan peserta didik
harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru berupa
petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta didik.
b.
Teknik
Penilaian Proyek
Penilaian proyek
dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek.
Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai,
seperti penyusunan disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan
laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil penelitian juga dapat disajikan
dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/ instrumen
penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian.
Contoh Teknik Penilaian Proyek
Mata
Pelajaran :
Nama
Proyek :
Alokasi
Waktu :
Guru
Pembimbing :
Nama
:
NIS :
Kelas :
|
Penilaian Proyek dilakukan mulai dari perencanaan ,
proses pengerjaan sampai dengan akhir proyek. Untuk itu perlu memperhatikan
hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai. Pelaksanaan penilaian dapat juga
menggunakan rating scale dan checklist.
2. Penilaian Produk
a.
Pengertian
Penilaian produk
adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian
produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk
teknologi dan seni, seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung,
lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, dan logam.
Pengembangan produk meliputi 3 (tiga) tahap dan setiap tahap perlu diadakan
penilaian yaitu:
1)
Tahap
persiapan, meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan,
menggali, dan mengembangkan gagasan, dan mendesain produk.
2)
Tahap
pembuatan produk (proses), meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dalam
menyeleksi dan menggunakan bahan, alat, dan teknik.
3)
Tahap
penilaian produk (appraisal),
meliputi: penilaian produk yang dihasilkan peserta didik sesuai kriteria yang
ditetapkan.
b. Teknik Penilaian Produk
Penilaian produk
biasanya menggunakan cara holistik atau analitik.
1)
Cara
holistik, yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan
pada tahap appraisal.
2)
Cara
analitik, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap
semua kriteria yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.
Contoh
Penilaian Produk
Mata
Ajar :
Nama
Proyek :
Alokasi
Waktu :
Nama
Peserta didik :
Kelas/SMT :
Catatan
:
*)
Skor diberikan dengan rentang skor 1 sampai dengan 5, dengan ketentuan semakin
lengkap jawaban dan ketepatan dalam proses pembuatan maka semakin tinggi
nilainya.
|
MODEL
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
(PROBLEM
BASED LEARNING)
Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
A. Konsep/Definisi
Definisi
1)
Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan
pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta
didik untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah,
peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world).
2)
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran
yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara
berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang
diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada
pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum
peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang
harus dipecahkan.
Model
pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan
pemecahan masalah oleh peserta didik yang diharapkan dapat menambah
keterampilan peserta didik dalam pencapaian materi pembelajaran.
Berikut ini lima
strategi dalam menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL).
1)
Permasalahan sebagai kajian.
2) Permasalahan sebagai
penjajakan pemahaman.
3) Permasalahan sebagai
contoh.
4) Permasalahan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari proses.
5)
Permasalahan sebagai stimulus aktivitas
autentik.
Peran guru, peserta
didik dan masalah dalam pembelajaran berbasis masalah
dapat digambarkan berikut ini.
Guru sebagai Pelatih
|
Peserta Didik sebagai Problem
Solver
|
Masalah sebagai Awal Tantangan dan
Motivasi
|
o Asking about thinking (bertanya tentang pemikiran).
o Memonitor pembelajaran.
o Probbing ( menantang peserta didik untuk
berpikir ).
o Menjaga agar peserta didik terlibat.
o Mengatur dinamika kelompok.
o Menjaga berlangsungnya proses.
|
o Peserta yang aktif.
o Terlibat langsung dalam pembelajaran.
o Membangun pembelajaran.
|
o Menarik untuk dipecahkan.
o Menyediakan kebutuhan yang ada hubungannya
dengan pelajaran yang dipelajari.
|
Tujuan dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini adalah:
1)
Keterampilan berpikir dan keterampilan
memecahkan masalah
Pembelajaran berbasis
masalah ini ditujukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
2)
Pemodelan peranan orang dewasa.
Bentuk pembelajaran
berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal
dengan aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah.
Berikut ini aktivitas-aktivitas mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan.
·
PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan
tugas.
·
PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini
mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga peserta didik secara
bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
·
PBL melibatkan peserta didik dalam penyelidikan
pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan menjelaskan
fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
3) Belajar Pengarahan
Sendiri (self directed learning)
Pembelajaran berbasis
masalah berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus dapat menentukan
sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di
bawah bimbingan guru.
Pendekatan
PBL mengacu pada hal-hal sebagai berikut ini.
a.
Kurikulum : PBL tidak seperti pada
kurikulum tradisional, karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek
sebagai pusat.
b.
Responsibility : PBL menekankan responsibility dan answerability
para peserta didik ke diri dan panutannya.
c.
Realisme : kegiatan peserta didik
difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas
ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
d.
Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan peserta
didik untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah
terjadi proses pembelajaran yang mandiri.
e.
Umpan Balik : diskusi, presentasi,
dan evaluasi terhadap para peserta didik menghasilkan umpan balik yang
berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
f.
Keterampilan Umum : PBL
dikembangkan tidak hanya pada ketrampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi
juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan
masalah, kerja kelompok, dan self-management.
g.
Driving Questions : PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang
memicu peserta didik untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep,
prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
h.
Constructive Investigations : sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan
pengetahuan para peserta didik.
i.
Autonomy : proyek menjadikan aktifitas peserta didik sangat penting.
B. Fakta Empirik Keberhasilan
Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran
Kelebihan
Menggunakan PBL
(1)
Dengan PBL akan terjadi pembelajaran
bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah
maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan
dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep
diterapkan.
(2)
Dalam situasi PBL, peserta didik
mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan
mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
(3)
PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi
internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam
bekerja kelompok.
Metode ini memiliki kecocokan terhadap
konsep inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut
:
1.
peserta didik memperoleh
pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk
memecahkan masalah bidang keteknikan yang dijumpainya;
2.
peserta didik belajar secara aktif
dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan
sebenarnya, yang sering disebut student-centered;
3.
peserta didik mampu berpikir
kritis, dan mengembangkan inisiatif.
Berikut adalah beberapa hasil penelitian berkaitan
dengan model PBL.
1.
Wagiran,
dkk, 2010, Pengembangan Pembelajaran Model Problem
Based Learning Dengan Media Pembelajaran Berbantuan Komputer dalam Matadiklat Measuring Bagi Peserta didik SMK
(Hibah Bersaing Perguruan Tinggi), 2010: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Penelitian dirancang dalam tiga tahap dalam kurun
waktu 3 tahun. Pada tahun pertama penelitian bertujuan untuk merancang, membuat
dan mengembangkan media pembelajaran berbantuan komputer berikut perangkatnya
dalam mendukung model pembelajaran PBL-PBK.
Pada tahun kedua, penelitian ini bertujuan untuk menerapkan dan menguji
model pembelajaran PBL-PBK dalam lingkup luas sekaligus melihat efektivitasnya.
Pada tahun ketiga, penelitian ini memfokuskan pada tahap sosialisasi model
pembelajaran PBL-PBK dalam lingkup yang lebih luas.
Penelitian
dirancang menggunakan pendekatan Research and Development Sumber data dalam penelitian ini meliputi
kalangan industri permesinan, perumus kebijakan, kepala sekolah, guru, peserta
didik, dan ahli pendidikan. Penerapan model direncanakan di 5 SMK dengan metode
eksperimen. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan
dokumentasi. Analisis data dilakukan secara kuantitatif yaitu deskriptif, dan komparatif.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah
diperolehnya kompetensi Measuring dan
diperolehnya media pembelajaran berbantuan komputer dalam mendukung
pembelajaran PBL-PBK yang teruji. Hasil evaluasi ahli tentang kualitas media
dilihat dari sisi materi menunjukkan skor 3,38 (dalam kategori baik), dari
kualitas tampilan menunjukkan skor 3,04 (dalam kategori baik), sedangkan dari
sisi pengorganisasian materi penunjukan skornya adalah: konsistensi sebesar
2,92 (cukup baik), format sebesar 3,13 (baik), pengorganisasian sebesar 3,25
(baik), bentuk dan ukuran huruf sebesar 2,63 (cukup baik).
Hasil uji
kelayakan (uji coba) kepada peserta didik menunjukkan bahwa kualitas media
dilihat dari sisi materi menunjukkan skor 3,28 (dalam kategori baik), dari
kualitas tampilan dan daya tarik
menunjukkan skor 3,30 (dalam kategori baik), sedangkan dari sisi
pengorganisasian materi penunjukan skornya adalah: sebesar 3,22 (baik) Dengan
demikian media berbantuan komputer dalam matadiklat measuring layak untuk
diterapkan.
Media berbantuan
komputer yang disusun telah memnuhi aspek kelayakan baik dari segi teoritis
maupun dari segi empiris. Tedapat tiga pola implementasi pembelajaran
menggunakan media berbantuan komputer yaitu: (a) sebagai media tayamg, (b)
sebagai media pendukung praktek, dan (c) sebagai media pembelajaran individual
dan interaktif.
2. Dian Mala Sari, Pebriyenni ., Yulfia Nora, 2013, Peningkatan Partisipasi dan Hasil Belajar Peserta
didik Kelas IVB dalam
Pembelajaran IPS Melalui Model Problem Based Learning di SDN 20 Kurao Pagang, Faculty of
Education, Bung Hatta University
Penelitian ini dilatarbelakangi kurangnya
partisipasi peserta didik kelas IVB pada pembelajaran IPS. Yang berdampak
terhadap rendahnya hasil belajar peserta didik. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan peningkatan partisipasi dan hasil belajar peserta didik kelas
IVB dalam pembelajaran IPS melalui model PBL di SDN 20 Kurao Pagang. Jenis
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan secara
partisipan.
Subjek penelitian ini peserta didik kelas IVB SDN 20
Kurao Pagang. Instrumen penelitian yang digunakan lembar observasi partisipasi
peserta didik, lembar observasi aktivitas guru, tes hasil belajar dan catatan
lapangan. Hasil penelitian diketahui bahwa partisipasi dalam menjawab
pertanyaan meningkat dari 52,5 % di siklus I menjadi 70%, di siklus II.
Partisipasi peserta didik menanggapi jawaban meningkat dari 40% di siklus
I menjadi 65% di siklus II, dan partisipasi peserta didik dalam presentasi
meningkat dari 27,5% di siklus I menjadi 67,5% di siklus II. Hasil belajar
peserta didik siklus I meningkat dari 57,25% menjadi 72,75% di siklus II.
Sedangkan persentase ketuntasan belajar yang ditentukan 70%. Hasil penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa partisipasi dan hasil belajar peserta didik kelas
IVB dapat ditingkatkan melalui model PBL dalam pembelajaran IPS di SDN
20 Kurao Pagang.
C. Langkah-langkah Operasional
Imlementasi dalam Proses Pembelajaran
Pembelajaran suatu materi pelajaran dengan menggunakan PBL sebagai basis
model dilaksanakan dengan cara mengikuti lima langkah PBL dengan bobot atau kedalaman
setiap langkahnya disesuaikan dengan mata pelajaran yang bersangkutan.
1.
Konsep Dasar (Basic
Concept)
Jika dipandang perlu, fasilitator dapat memberikan konsep dasar, petunjuk,
referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran
tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam
atmosfer pembelajaran dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan
tujuan pembelajaran. Lebih jauh, hal ini diperlukan untuk memastikan peserta
didik memperoleh kunci utama materi pembelajaran, sehingga tidak ada
kemungkinan terlewatkan oleh peserta didik seperti yang dapat terjadi jika
peserta didik mempelajari secara mandiri. Konsep yang diberikan tidak perlu
detail, diutamakan dalam bentuk garis besar saja, sehingga peserta didik dapat
mengembangkannya secara mandiri secara mendalam.
2.
Pendefinisian Masalah (Defining the Problem)
Dalam langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan
dalam kelompoknya, peserta didik melakukan berbagai kegiatan. Pertama, brainstorming yang dilaksanakan dengan
cara semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap
skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul berbagai macam alternatif
pendapat. Setiap anggota kelompok memiliki hak yang sama dalam memberikan dan
menyampaikan ide dalam diskusi serta mendokumentasikan secara tertulis pendapat
masing-masing dalam kertas kerja.
Selain itu, setiap kelompok harus mencari istilah yang kurang dikenal dalam
skenario tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada
peserta didik yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman yang
lain. Jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut,
ditulis dalam permasalahan kelompok. Selanjutnya, jika ada bagian yang belum
dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis sebagai isu dalam
permasalahan kelompok.
Kedua, melakukan seleksi alternatif untuk memilih pendapat yang lebih
fokus. Ketiga, menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam
kelompok untuk mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang
didapat. Fasilitator memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil peserta didik.
Jika tujuan yang diinginkan oleh fasilitator belum disinggung oleh peserta
didik, fasilitator mengusulkannya dengan memberikan alasannya. Pada akhir
langkah peserta didik diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja
yang mereka ketahui, apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa
saja yang diperlukan untuk menjembataninya. Untuk memastikan setiap peserta
didik mengikuti langkah ini, maka pendefinisian masalah dilakukan dengan
mengikuti petunjuk.
3.
Pembelajaran Mandiri (Self
Learning)
Setelah mengetahui tugasnya, masing-masing peserta didik mencari berbagai
sumber yang dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang
dimaksud dapat dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan,
halaman web, atau bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap investigasi
memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi dan
mengembangkan pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah
didiskusikan di kelas, dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu
dipresentasikan di kelas dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat
dipahami.
Di luar pertemuan dengan fasilitator, peserta didik bebas untuk mengadakan
pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut peserta
didik akan saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan
yang telah mereka bangun. Peserta didik juga harus mengorganisasi informasi
yang didiskusikan, sehingga anggota kelompok lain dapat memahami relevansi
terhadap permasalahan yang dihadapi.
4.
Pertukaran Pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah
pembelajaran mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik
berdiskusi dalam kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan
solusi dari permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan
dengan cara peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
Tiap kelompok menentukan ketua diskusi dan tiap peserta didik menyampaikan
hasil pembelajaran mandiri dengan cara mengintegrasikan hasil pembelajaran
mandiri untuk mendapatkan kesimpulan kelompok. Langkah selanjutnya presentasi
hasil dalam pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno,
menentukan kesimpulan akhir, dan dokumentasi akhir. Untuk memastikan setiap
peserta didik mengikuti langkah ini maka dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
5.
Penilaian (Assessment)
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup
seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS),
ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan. Penilaian terhadap
kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan pengujian. Sedangkan
penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi,
kemampuan bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot
penilaian untuk ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang
bersangkutan.
D. Contoh Penerapan
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam
kelas, peserta didik terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena
terlebih dahulu. Kemudian peserta didik diminta mencatat masalah-masalah yang
muncul. Setelah itu tugas guru adalah meransang peserta didik untuk berpikir
kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan peserta
didik untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan pendapat yang
berbeda dari mereka.
Memanfaatkan lingkungan peserta didik untuk memperoleh
pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai
konteks lingkungan peserta didik, antara lain di sekolah, keluarga dan
masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi
peserta didik untuk belajar diluar kelas. Peserta didik diharapkan dapat
memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman
belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan peserta didik dalam
rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi
pembelajaran.
Tabel 1: Tahapan-Tahapan Model PBL
FASE-FASE
|
PERILAKU GURU
|
Fase 1
Orientasi peserta
didik kepada masalah.
|
·
Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
logistik yg dibutuhkan.
·
Memotivasi peserta didik untuk terlibat aktif
dalam pemecahan masalah yang dipilih.
|
Fase 2
Mengorganisasikan
peserta didik.
|
Membantu peserta didik
mendefinisikan danmengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
|
Fase 3
Membimbing
penyelidikan individu dan kelompok.
|
Mendorong peserta
didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Fase 4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya.
|
Membantu peserta didik
dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model
dan berbagi tugas dengan teman.
|
Fase 5
Menganalisa dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
|
Mengevaluasi hasil
belajar tentang materi yang telah dipelajari /meminta kelompok presentasi
hasil kerja.
|
Fase 1: Mengorientasikan Peserta
Didik pada Masalah
Pembelajaran
dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang
akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru
harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh peserta didik dan
juga oleh guru. serta dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses
pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar peserta
didik dapat mengerti dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Ada empat hal yang
perlu dilakukan dalam proses ini, yaitu sebagai berikut.
1. Tujuan utama pengajaran tidak untuk
mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar
bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi peserta
didik yang mandiri.
2. Permasalahan dan pertanyaan yang
diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit
atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan.
3. Selama tahap penyelidikan (dalam
pengajaran ini), peserta didik didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari
informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun
peserta didik harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya.
4. Selama tahap analisis dan
penjelasan, peserta didik akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara
terbuka dan penuh kebebasan. Tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru
atau teman sekelas. Semua peserta didik diberi peluang untuk menyumbang kepada
penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan Peserta
Didik untuk Belajar
Di
samping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran
PBL juga mendorong
peserta didik belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan
kerjasama dan sharing antar anggota.
Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk
kelompok-kelompok peserta didik dimana masing-masing kelompok akan memilih dan
memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik
dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti:
kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang
efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan
mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika
kelompok selama pembelajaran.
Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan
telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan peserta didik menetapkan
subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan
utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua peserta didik
aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil
penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan
tersebut.
Fase 3: Membantu Penyelidikan
Mandiri dan Kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi
permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya
tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen,
berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan
eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus
mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen
(mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi
permasalahan. Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi
untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.
Guru membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan
pertanyaan pada peserta didik untuk berifikir tentang masalah dan ragam
informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat
dipertahankan.
Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan
permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai
menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama
pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta didik untuk menyampikan semua
ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan
pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan
solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.
Fase 4: Mengembangkan dan Menyajikan
Artifak (Hasil Karya) dan Mempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil
karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa
suatu video tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan),
model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program
komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat
dipengaruhi tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya adalah
mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan
lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan peserta didik-peserta didik
lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau
memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan Evaluasi Proses
Pemecahan Masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini
dimaksudkan untuk membantu peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses
mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka
gunakan. Selama fase ini guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi
pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya.
E. Sistem Penilaian
Penilaian dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan (skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang mencakup
seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir semester (UAS),
ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.
Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu
pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan
dan pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada
penguasaan soft skill, yaitu
keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan bekerjasama dalam tim, dan
kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk ketiga aspek tersebut
ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.
Penilaian
pembelajaran dengan PBL dilakukan
dengan authentic assesment. Penilaian dapat dilakukan dengan portfolio yang merupakan
kumpulan yang sistematis pekerjaan-pekerjaan peserta didik yang dianalisis untuk melihat
kemajuan belajar dalam kurun waktu tertentu dalam kerangka pencapaian tujuan
pembelajaran. Penilaian dalam pendekatan PBL
dilakukan dengan cara evaluasi diri (self-assessment)
dan peer-assessment.
1.
Self-assessment. Penilaian yang dilakukan oleh
pebelajar itu sendiri terhadap usaha-usahanya dan hasil pekerjaannya dengan
merujuk pada tujuan yang ingin dicapai (standard) oleh pebelajar itu sendiri
dalam belajar.
2.
Peer-assessment. Penilaian di mana pebelajar
berdiskusi untuk memberikan penilaian terhadap upaya dan hasil penyelesaian
tugas-tugas yang telah dilakukannya sendiri maupun oleh teman dalam
kelompoknya.
Penilaian
yang relevan dalam PBL antara lain
berikut ini.
1.
Penilaian kinerja peserta didik.
Pada
penilaian kinerja ini, peserta didik diminta untuk unjuk kerja atau
mendemonstrasikan kemampuan melakukan tugas-tugas tertentu, seperti menulis
karangan, melakukan suatu eksperimen, menginterpretasikan jawaban pada suatu
masalah, memainkan suatu lagu, atau melukis suatu gambar.
2.
Penilaian portofolio peserta didik.
Penilaian
portofolio adalah penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan
informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam suatu
periode tertentu. Informasi perkembangan peserta didik dapat berupa hasil karya
terbaik peserta didik selama proses belajar, pekerjaan hasil tes, piagam
penghargaan, atau bentuk informasi lain yang terkait kompetensi tertentu dalam
suatu mata pelajaran.
Dari informasi perkembangan itu
peserta didik dan guru dapat menilai kemajuan belajar yang dicapai dan peserta
didik terus berusaha memperbaiki diri. Penilain dengan portofolio dapat dipakai
untuk penilaian pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif. Penilaian
kolaboratif dalam PBL dilakukan dengan cara evaluasi diri (self assesment) dan
peer assesment.
Self
assessment adalah
penilaian yang dilakukan oleh peserta didik itu sendiri terhadap usaha-usahanya
dan hasil pekerjaannya dengan merujuk pada tujuan yang ingin dicapai oleh
peserta didik itu sendiri dalam belajar. Peer
assessment adalah penilian dimana peserta didik berdiskusi untuk memberikan
penilaian upaya dan hasil penyelesaian tugas-tugas yang diselesaikan sendiri
maupun teman dalam kelompoknya.
3.
Penilaian Potensi Belajar
Penilaian yang diarahkan untuk
mengukur potensi belajar peserta didik yaitu mengukur kemampuan yang dapat
ditingkatkan dengan bantuan guru atau teman-temannya yang lebih maju. PBL yang
memberi tugas-tugas pemecahan masalah memungkinkan peserta didik untuk
mengembangkan dan mengenali potensi kesiapan belajarnya.
4.
Penilaian Usaha Kelompok
Menilai usaha kelompok seperti yang
dlakukan pada pembelajaran kooperatif dapat dilakukan pada PBL. Penilaian usaha
kelompok mengurangi kompetisi merugikan yang sering terjadi, misalnya
membandingkan peserta didik dengan temannya. Penilaian dan evaluasi yang sesuai
dengan model pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang
dihasilkan oleh peserta didik sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan
hasil pekerjaan secara bersama-sama.
Penilaian proses dapat digunakan
untuk menilai pekerjaan peserta didik tersebut, penilaian ini antara lain:
1).assesment kerja, 2). assesment autentik dan 3). portofolio. Penilaian proses
bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana peserta didik merencanakan
pemecahan masalah, melihat bagaimana peserta didik menunjukkan pengetahuan dan
keterampilannya.
Penilaian kinerja memungkinkan
peserta didik menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang
sebenarnya. Sebagian masalah dalam kehidupan nyata bersifat dinamis sesuai
dengan perkembangan zaman dan konteks atau lingkungannya, maka di samping
pengembangan kurikulum juga perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai
tujuan kurikulum yang memungkinkan peserta didik dapat secara aktif
mengembangkan kerangka berpikir dalam memecahkan masalah serta kemampuannya
untuk bagaimana belajar (learning how to
learn).
Dengan kemampuan atau kecakapan
tersebut diharapkan peserta didik akan mudah beradaptasi. Dasar pemikiran
pengembangan strategi pembelajaran tersebut sesuai dengan pandangan
kontruktivis yang menekankan kebutuhan peserta didik untuk menyelidiki
lingkungannya dan membangun pengetahuan secara pribadi pengetahuan bermakna.
Tahap evaluasi pada PBM terdiri atas
tiga hal : 1. bagaimana peserta didik dan evaluator menilai produk (hasil
akhir) proses 2. bagaimana mereka menerapkan tahapan PBM untuk bekerja melalui
masalah 3. bagaimana peserta didik akan menyampaikan pengetahuan hasil
pemecahan akan masalah atau sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka belajar
menyampaikan hasil-hasil penilaian atau respon-respon mereka dalam berbagai
bentuk yang beragam, misalnya secara lisan atau verbal, laporan tertulis, atau
sebagai suatu bentuk penyajian formal lainnya. Sebagian dari evaluasi
memfokuskan pada pemecahan masalah oleh peserta didik maupun dengan cara
melakukan proses belajar kolaborasi (bekerja bersama pihak lain).
MODEL
PEMBELAJARAN PENEMUAN
(DISCOVERY LEARNING)
A.
Definisi/
Konsep
1.
Definisi
Metode Discovery
Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam
bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat
Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be
defined as the learning that takes place when the student is not presented with
subject matter in the final form, but rather is required to organize it him
self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid
mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,
1996:41). Metode Discovery Learning
adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu
terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa
konsep dan prinsip. Discovery
dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps
and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga
istilah ini, pada Discovery Learning
lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak
diketahui. Perbedaannya dengan discovery
ialah bahwa pada discovery masalah
yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru,
sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus
mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan
di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah. Akan
tetapi prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan
disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai
peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui
dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau
membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu
bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang
dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan.
Penggunaan metode Discovery Learning,
ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah
pembelajaran yang teacher oriented ke
student oriented. Mengubah modus
Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke
modus Discovery siswa menemukan
informasi sendiri.
2.
Konsep
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan
kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya
generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering
disebut sistem-sistem coding.
Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian
dalam arti relasi-relasi (similaritas
& difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau
kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep
apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2)
Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik
yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih,
2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan
mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula.
Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan
contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari
tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk
menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa
pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat
melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian
yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar
siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik
dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan
tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk
memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic,
seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu
memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak
belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin
matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya.
Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic
adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau
kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya
bermain) ini fase enactive. Kemudian
pada fase iconic ia menjelaskan
keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk
menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic
(Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery
Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat
membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan
(Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar
mengajar yang teacher oriented
menjadi student oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang
menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang
scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir,
siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan
arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang
guru dalam aplikasi metode Discovery
Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam
belajar yang lebih mandiri. Bruner
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya
(Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah
hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli
matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan,
serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah
tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih
berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa
guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan
kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi
direktifnya melainkan pelajar diberi
responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
B.
Fakta
Empirik Keberhasilan Pendekatan dalam Proses dan Hasil Pembelajaran
Berdasarkan
fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebhihan-kelebihan
dan kelemahan-kelemahan.
1. Kelebihan Penerapan Discovery Learning
1. Kelebihan Penerapan Discovery Learning
a.
Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan
kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b.
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi
dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c.
Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
d.
Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan
sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e.
Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri
dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f.
Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya,
karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g.
Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif
mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan
sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h.
Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan)
karena mengarah pada kebenaran yang
final dan tertentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan
ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan
dan transfer kepada situasi proses belajar
yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja
atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan
merumuskan hipotesis sendiri.Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
m. Situasi proses belajar menjadi lebih
terangsang.
n. Proses belajar meliputi sesama
aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
p. Meningkatkan
tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan
siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
r. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan
individu.
2. Kelemahan
Penerapan Discovery Learning
a.
Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran
untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak
atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis
atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b.
Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang
banyak, karena
membutuhkan
waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah
lainnya.
c.
Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar
yang lama.
d.
Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan
pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e.
Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas
untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f.
Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang
akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
Langkah-langkah
Operasional Implementasi dalam Proses Pembelajaran
Berikut
ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
a. Menentukan
tujuan pembelajaran.
b. Melakukan
identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
c. Memilih
materi pelajaran.
d. Menentukan
topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh
generalisasi).
e. Mengembangkan
bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya
untuk dipelajari siswa.
f. Mengatur
topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke
abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g. Melakukan
penilaian proses dan hasil belajar siswa
1.
Prosedur
Aplikasi Metode Discovery Learning
Menurut
Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus
dilaksanakan dalam kegiatan
belajar
mengajar secara umum sebagai berikut:
a. Stimulation
(Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama
pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan
untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi
pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini
Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi
internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus
menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan
mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
b. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah
dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang
relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah
2004:244), sedangkan menurut
permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c. Data Collection (Pengumpulan Data)
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
c. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika
eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab
pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis. Dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk
mengumpulkan (collection) berbagai
informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan
nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap
ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan
dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa
menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut
Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara,
observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan
pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Data
processing disebut juga dengan
pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan
baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian
secara logis
e. Verification (Pembuktian)
Pada
tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif,
dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan
hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau
hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab
atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
f. Generalization (Menarik
Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap
generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang
sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil
verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi
yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran
atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari
pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari
pengalaman-pengalaman itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Admin. Metode Pembelajaran Berbasis
Proyek (Project Based Learning) [online]. Diakses di http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/151/hubptain-gdl-ellyikasus-7509-3-babii.pdf (29 November 2014).
Nur,
Mohamad. 2011. Model Pembelajaran
Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa.
Trianto.
2007. Model-model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka.
Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan. 2013. Modul Pelatihan
Implementasi Kurikulum 2013. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar